Tidak diketahui kapan mata air mulai mengalir di tempat yang sekarang bernama Tirtagangga, namun jika melihat pohon beringin yang ada, yang biasanya ditanam dekat tempat suci, mata air tersebut dapat berumur 300 tahun. Hingga saat ini air dari mata air tersebut digunakan sebagai air suci untuk banyak upacara keagamaan.
Mata air yang digunakan untuk acara keagamaan, cuaca yang sejuk dan pemandangan yang indah di sekitar bukit menginspirasi Raja Karangasem, Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem untuk membangun taman air rekreasi untuk dirinya dan rakyatnya, yang ia mulai bangun tahun 1948. Membuat berbagai macam taman air sudah menjadi hobinya. Ia tidak hanya membuat rancangannya sendiri, namun ia juga bekerja dengan pekerjanya, menggali tanah, berdiri di air yang dalam, dikotori lumpur. Pengunjung yang melihat proses pembangunan selalu terkejut ketika melihat Raja yang berada di sekitar pekerjanya. Orang-orang menyukainya dan itu adalah salah satu kelebihan Raja yang menawan.
Taman mulai dibangun sekitar Januari 1948 dan diperkirakan selesai sekitar September 1948, yang setelahnya digunakan secara resmi oleh Keluarga Kerajaan sebagai peristirahatan dan sampai sekarang masih digunakan untuk kepentingan Keluarga Kerajaan; masyarakat lokal Ababi, Temega, Pladung untuk aktivitas keagamaan Tirta Yatra
Tahun 1963 Gunung Agung meletus dan menyebabkan banyak gempa yang menghancurkan sebagian besar bangunan dan kolam di Taman. Keluarga Kerajaan dan masyarakat Karangasem mengungsi di daerah Bali yang lebih aman. Sekitar sepuluh bulan kemudian saat situasi sudah aman, Raja kembali dan menemukan taman indahnya telah hancur. Ia tidak memiliki uang untuk membangun kolam dan struktur. Ketika Raja-Raja diperkenalkan oleh Undang-undang Agraria, seperti pemilik lahan lain, sarana untuk memperbaikinya telah hilang. Rehabilitasi Tirtagangga hanya dapat dilakukan dengan hemat dan serampangan.
Tahun 1966 Raja meninggal dunia akibat stroke di umur 87 tahun. Setelah kepulangannya, Taman Air diwariskan pada 10 anaknya. Untuk menjaga warisan keluarga, taman-taman dan arsitektur khusus yang diciptakan oleh Raja Karangasem telah menjadi bagian dari keluarga “Druwe Tengah”. Sayangnya keluarga tersebut tidak memiliki dana untuk melanjutkan perawatan tempat tersebut dan tempatnya sangat sulit untuk dirawat, bahkan setelah keputusan untuk membebankan biaya pada tamu yang memasuki taman.
Sejak 1979, setelah tugas yang panjang di luar negeri, salah satu anak mendiang Raja, Dr. Anak Agung Made Djelantik memimpin rehabilitasi taman Dengan sedikit kenaikan di biaya masuk pada tahun 1985 dan donasi uang pribadinya, sedikit perbaikan yang dapat dicapai. Pertemuan juga dibuat dengan perusahaan air lokal (PDAM), untuk menggunakan sebagian air dari mata air untuk konsumsi kota Karangasem, dan ini membantu merenovasi kolam renang bagian atas. Sedikit demi sedikit taman air menjadi lebih bagus, dan mulai dikenal di dunia pariwisata.
Di tahun 2002, dengan bantuan beberapa yayasan dan donor yang diusulkan oleh Dr. AA Made Djelantik dan diatur lebih lanjut oleh anaknya, AA Widoera Djelantik, yang merupakan seorang arsitek, Taman tersebut dapat direnovasi lebih jauh, langkah demi langkah menurut rancangan utama yang dibuat saat itu. Beberapa tahun kemudian, AA Widoera dibantu oleh anggota keluarga Kerajaan lain dapat mengembalikan keindahan Taman Kerajaan, Taman Tirtagangga. Pengunjung juga datang untuk menikmati keindahan Taman.
Sejak pertengahan 2018 manajemen Taman telah diganti dan diserahkan ke anggota keluarga Kerajaan yang lain, AA Made Kosalya dan tim manajemen dan operasionalnya yang beranggota 40 orang.
Informasi lebih lanjut mengenai sejarah taman dapat dilihat di www.tirtagangga.com